Pengertian Haji Mabrur
Haji mabrur menurut bahasa adalah haji yang baik atau yang diterima oleh Allah Ta'ala. Sedangkan menurut istilah syar'i, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan melaksanakan berbagai syarat, rukun haji, dan wajib haji, serta menghindari semua hal-hal yang dilarang dan dilaksanakan semata-mata mengharap ridha Allah Azza wa Jalla.
Jika seseorang hajinya mabrur, maka ia pantas masuk surga. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
"Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga". (HR. Bukhari : 1773 dan Muslim : 1349).
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, "Yang dimaksud, 'tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga', bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga". (Syarh Shahih Muslim, 9 : 119).
Cara Menjadi Haji Mabrur
Mengenai hajinya seseorang mabrur atau tidak, tak seorang pun yang tahu. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Karena diterima atau tidaknya sebuah amal hanya Allah Azza wa Jalla yang menghendaki. Menurut para ulama, terdapat tanda-tanda haji yang mabrur, namun semua itu tidak bisa memberikan kepastian bahwa haji seseorang mabrur atau tidak.
Tanda haji yang mabrur tak lepas dari usaha ataupun cara dalam melaksanakan ibadah haji, mulai dari awal keberangkatan sampai pulang dari tanah suci. Dan diantara tanda-tanda haji mabrur dan cara meraih agar menjadi haji mabrur antara lain,
Pertama, Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang halal. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits bahwa, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
"Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik". (HR. Muslim : 1015).
Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia gunakan untuk biaya haji adalah harta yang halal. Jangan sampai dalam mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji melakukan transaksi riba (haram) apapun bentuknya. Jika tidak, maka jangan berharap bisa meraih haji mabrur.
Kedua, Amalan-amalan dalam pelaksanaan haji dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan melaksanakan semua rukun-rukun dan kewajiban dalam melaksanakan haji, dan meninggalkan semua hal-hal yang dilarang. Jika terjadi kesalahan, maka segera melakukan penebusan dengan cara yang telah ditentukan. Selain itu, dalam pelaksanakannya dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata mengharap ridha Allah Ta'ala.
Ketiga, Hajinya dipenuhi dengan banyak melakukan amalan baik, seperti shalat tepat waktu, banyak berdzikir, shalat di Masjidil Haram dan membantu teman seperjalanan. Di antara amalan yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka Beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
"Memberi makan dan berkata-kata baik". (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim mengatakan shahih).
Keempat, Tidak berbuat maksiat terlebih selama ihram. Semua perbuatan maksiat yang dilarang tidak dilakukan dalam semua kondisi. Terlebih pada waktu ihram, larangan tersebut menjadi makin tegas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Dalam Al Qur'an Allah Ta'ala berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji". (QS. Al-Baqarah : 197).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
"Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya". (HR. Muslim : 1350, dan lainnya).
Yang dimaksud Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Sedangkan Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Ta'ala apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Dan Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal tersebut dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain masih tetap berlaku.
Kelima, Pulang dari haji dengan keadaan lebih baik. Salah satu tanda diterimanya sebuah amal seseorang adalah akan berperilaku lebih baik setelah melaksanakan suatu amalan. Begitu pula sebaliknya, jika setelah beramal shaleh masih melakukan perbuatan buruk, bahkan meningkat, maka itu adalah tanda bahwa Allah Ta'ala tidak menerima amalnya.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat. Beliau juga mengatakan, Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.
Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah mengatakan, Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majelis kelalaian menjadi majelis dzikir dan kesadaran.
Demikian tanda-tanda haji mabrur dan cara meraih agar menjadi haji mabrur menurut keterangan para ulama berdasarkan ajaran yang disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Haji mabrur merupakan karunia dari Allah Ta'ala yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Apabila tanda-tanda ini ada setelah pulang dari haji, maka hendaknya bersyukur atas taufik dari Allah Ta'ala, dan teruslah berdoa agar ibadah yang telah dikerjakan benar-benar diterima. Namun, jika tanda-tanda itu tidak ada, maka harus lebih mawas diri, perbanyak istighfar dan berusaha memperbaiki amalan ibadah yang dikerjakan.
Allahu 'alam.
Sumber : https://www.syariahislam.com