Ketika wanita hamil diluar nikah kemudian dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, apakah pernikahannya sah? Kemudian jika nanti punya anak lagi yaitu anak kedua, anak ketiga, apakah anak tersebut berhak mendapat warisan dari bapaknya?
Pertama, kita bahas tentang hukum menikahi wanita yang dihamili di luar nikah atau yang biasa disebut dengan nikah karena ‘kecelakaan’.
Ada dua pendapat ulama tentang keabsahannya:
Pendapat pertama, mayoritas ulama (Jumhur): nikahnya sah.
Pendapat kedua, Imam Ahmad bin Hambal: tidak sah, kecuali jika pelaku telah bertaubat.
Pendapat kedua ini lebih kuat insyaallah, sebagaimana dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau menjelaskan,
نكاح الزانية حرام حتى تتوب، سواء كان زنى بها هو أو غيره، هذا هو الصواب بلا ريب، وهو مذهب طائفة من السلف والخلف، منهم أحمد بن حنبل وغيره، وذهب كثير من السلف إلى جوازه، وهو قول الثلاثة
Menikahi wanita berzina hukumnya haram, sampai dia bertaubat. Baik dinikahkan oleh lelaki yang menghamili atau oleh lelaki lain. Ini pendapat yang tepat tanpa keraguan. Pendapat ini menjadi mazhab sejumlah ulama dahulu (salaf) dan akhir-akhir (khalaf). Di antaranya Ahmad bin Hambal dan yang lainnya. Dan banyak ulama salaf juga yang membolehkan, ini pendapat ketiga.
Dasarnya adalah riwayat dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau pernah mengatakan tentang menikahi wanita yang hamil di luar nikah,
كان أوله سفاح وآخره نكاح وأوله حرام وآخره حلال
“Awalnya sifah (perzinahan), akhirnya nikah. Awalnya haram, akhirnya halal.” (Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Sunan Al Kubro)
Dan sebuah riwayat yang menceritakan bahwa seorang lelaki berzina dengan seorang perempuan di zaman Khalifah Abu Bakr As-Shidiq radhiyallahu’anhu. Lalu Abu Bakr menghukum keduanya dengan seratus cambukan. Setelah itu keduanya dinikahkan oleh Abu Bakr. (Riwayat Ibnu Syihab, tersebut dalam Mushonnaf Abdur Razzaq)
Demikian pula riwayat dari Sa’id dari Qotadah dari Jabir bin Abdillah, Sa’id bin Al-Musayyab dan Sa’id bin Jubair tentang seorang lelaki yang berzina dengan wanita lalu menikahinya, mereka berkata,
لا بأس بذلك إذا تابا وأصلحا وكرها ما كان
“Tidak mengapa keduanya menikah asal sudah bertaubat, berdamai, dan membenci masa lalunya.”
Sebagian ulama mensyaratkan syarat tambahan, yaitu harus selesai masa iddah wanita.
Jika hamil maka masa iddahnya berakhir ketika melahirkan.
Jika tidak hamil, masa iddahnya satu kali suci haid.
Namun syarat ini diperselisihkan ulama:
Hanafi dan Syafi’i berpandangan: tidak ada ketentuan iddah dalam pernikahan seperti ini.
Alasannya air mani karena zina tidak memiliki kehormatan. Sehingga menjadikan boleh melakukan akad nikah dengan wanita yang hamil di luar nikah sebelum dia melahirkan.
Malikiyah dan Hambali: masa iddah berlaku dalam pernikahan karena kecelakaan.
Alasannya sebagaimana yang berlaku pada pernikahan normal.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini, pendapat kedua insyaAllah, bahwa dipersyaratkan berakhir masa iddah dalam pernikahan karena kecelakaan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا توطأ حامل حتى تضع، ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة
“Tidak boleh menikahi wanita hamil sampai dia melahirkan. Dan wanita yang (dicerai) tidak hamil sampai dia mengalami haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, hadis yang senada diriwayatkan Imam Ahmad dan Ad-Darimi)
Sebagaimana keterangan dalam Fatawa Islam no. 1677 berikut,
ولكن الراجح وجوب الاستبراء – كما تقدم – لأن أكثر أهل العلم على أن الولد لا يجوز أن ينسب إلى أبيه من الزنا وإذا لم تستبرأ فيحتمل أن تكون قد حملت من وطئه الأول (وطء الزنى) فينسب إليه بغير حق. والله أعلم
“Pendapat yang kuat adalah wajib menunggu lahirnya janin (berakhirnya iddah). Karena mayoritas ulama berpandangan bahwa anak tidak boleh dinasabkan kepada ayah biologis karena zina. Jika tidak disyaratkan lahirnya janin, bisa jadi perempuan itu hamil dari hubungannya pertama (saat zina). Lalu sang anak dinasabkan kepada ayah biologis tanpa haq. Wallahua’lam.”
Sumber Islamweb.net
Kedua, jika pernikahan sah dengan ketentuan yang sudah kita simak pada poin pertama di atas, maka anak yang lahir setelah akad nikah (sebagian ulama mensyaratkan tidak kurang dari 6 bulan pasca akad), dihukumi sebagai anak biologis yang syar’i. Sehingga ia berhak dinasabkan kepada ayah dan mendapatkan warisan dari ayah.
Baca juga: Cara Menjawab Salam Orang Kafir
Adapun anak hasil zina, tidak berhak menerima warisan dari ayah biologis dan sang ayah juga tidak menjadi ahli waris anak. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَدُ زِنَا لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ
“Anak dari hasil zina tidak mendapat warisan dan tidak juga diwarisi oleh dan dari ayahnya.” (HR. Tirmidzi, dinilai Shahih oleh Syekh Albani)
Imam Tirmidzi menjelaskan hadis ini,
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ وَلَدَ الزِّنَا لَا يَرِثُ مِنْ أَبِيهِ
“Pengamalan terhadap hadis ini di kalangan para ulama bahwa anak hasil zina tidak mendapatkan warisan dari ayahnya.”
Adapun warisan ibunya maka ia berhak dapat dan ibunya juga berhak menjadi ahli warisnya.
Wallahu a’lam
Sumber: Status Warisan Untuk Anak Hasil Hamil di Luar Nikah, oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc.